Kasus di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, berhasil menjadi sorotan publik dan viral di media sosial. Kejadian: seorang kepala sekolah — kita sebut saja dengan inisial DP — menampar seorang siswa karena tertangkap merokok. Aksi ini kemudian memicu 630 murid dari 19 ruang kelas untuk mogok sekolah dan menyuarakan tuntutan agar kepsek mundur.
Aksi Mogok dan Tuntutan
- Ratusan murid memilih “kosongkan bangku” dan menolak masuk kelas sebagai protes atas kejadian tersebut.
- Sebuah spanduk terpampang di depan sekolah dengan pesan: “Kami tidak akan sekolah sebelum Kepsek dilengserkan.”
- Kepala sekolah DP menyebut, para guru tetap datang dan menjalankan beberapa tugas seperti menyiapkan materi dan membersihkan lingkungan meskipun murid-murid mogok.
Pernyataan Kepsek DP
DP menyatakan bahwa sebelumnya sudah ada komunikasi dengan komite sekolah dan orang tua murid bahwa KBM (kegiatan belajar mengajar) berjalan seperti biasa pada Selasa, 14 Oktober 2025. Namun, kenyataannya para siswa tetap melancarkan aksi mogok. Menurutnya, aksi ini bukan sepenuhnya berasal dari siswa. Ia mendapatkan informasi bahwa terdapat tekanan dari pihak luar yang mendorong murid‑murid untuk mogok.
“Saya sih nggak mau apriori, tapi saya dapat bocoran, ada backing di belakang ini, nggak (murni) lah ini. Semua karena di bawah tekanan,” ujar DP.
Kronologi Penamparan
Menurut keterangan kepsek DP:
- Pada Jumat, 10 Oktober 2025, ketika sedang dilakukan kegiatan “Jumat Bersih”, ia menemukan sekelompok siswa nongkrong di kantin sekolah sambil merokok.
- DP lalu menegur dan mengejar siswa yang kabur setelah tertangkap.
- Ia mengakui bahwa dirinya sempat menampar siswa tersebut karena refleks dan emosi karena kesal melihat muridnya merokok di lingkungan sekolah. Ia membantah melakukan tendangan, melainkan hanya tamparan satu kali dan cubitan di belakang siswa tersebut karena dianggap tidak menunjukkan perilaku yang pantas.
Versi Siswa
Sementara itu, seorang siswa dengan inisial IL mengaku bahwa ia memang merokok di kantin belakang sekolah. Ia ditangkap kepala sekolah yang kemudian memintanya mengambil puntung rokok yang telah dibuang. Karena tidak menemukannya, DP lalu masuk ke ruangan Bimbingan Konseling (BK) bersama IL dan menurut siswa itu, ia ditendang di kaki sebelum kemudian ditampar pipinya oleh DP.
“Saya dibawa ke ruangan BK… ditampar pipi kanan, satu kali sambil emosi, abis itu (kepsek) nangis,” terang IL.
Fokus Utama: Isu “Beking”
Di tengah keramaian berita ini, sorotan terbesar bukan hanya soal siswa merokok atau kepala sekolah menampar. Yang menjadi perhatian publik adalah klaim bahwa aksi mogok belajar tersebut bukan semata-mata muncul dari keinginan para murid sendiri, tapi ada “orang belakang” yang mendorong atau membiayai agar aksi tersebut terjadi.
Kepsek DP menyebut bahwa mogok belajar ini “tidak murni” dan terdapat intervensi dari pihak luar. Meski demikian, ia juga tidak langsung menuduh siapa pihak yang dimaksud; hanya menyatakan bahwa ada tekanan yang mempengaruhi murid-murid.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana sebuah insiden sederhana—seorang murid ketahuan merokok—dapat berkembang menjadi konflik struktural di sekolah, mencakup relasi guru‑murid, hak dan kewajiban siswa, serta intervensi pihak luar yang kadangkala sulit dipastikan. Desain narasi yang muncul di media kemudian memperlihatkan bahwa konflik pendidikan bisa berlapis: masalah perilaku siswa, otoritas sekolah, hingga dinamika sosial‑kultural yang lebih luas.
Jika Anda mau, saya bisa bantu merangkum opini publik, dampak sosialnya, atau perspektif hukum seputar kejadian ini—ingin dibahas?